Hadhanah



BAB II
Pembahasan

A.     Pengertian
Hadhanah menurut bahasa berarti “meletakan sesuatu dekat tulang rusuk atau dipangkuan”, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakannya di pangkuannya, seakan-akan ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga lafad “hadlanah” dijadikan istlah yang maksudnya:” pendidikan da pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai dengan sianak tersebut sanggup untuk mengurus dirinya sendiri yang dilakukan oleh anak kerabat anak itu”.[1]
Para ulama fiqih mendefinisikan: hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelahh terjadinya putus perkawinan.

B.     Hukum dan Dasar Hukumnya
Para ulama menetapkan bahwa pemelihaaraan anak itu hukumnya adalah wajib, sebagaiamana wajib memeliharanya selama dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat  Al-baqarah (2) ayat 233 yang artinya:
“Adalah kewajban ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya.”  
Kewajiban seorang ayah membiayai anaknya yang masih kecil bukan hhanya berlaku selma ayah dan ibu masih teikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perkawinan.

C.     Rukun dan Syarat
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh disebut dengan hadhin dan anak yang di asuh disebut madhun. Keduanya harus memiliki syarat yang harus ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu an ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu[2]




D.     Syarat-syarat hadhin dan madhun
Ayah dan Ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh bertindak sebagai pengasuh diisyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1)      Sudah dewasa.
Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum sampai dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2)      Berpikiran sehat
Orang yang kurang akalnya seperti  idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat orang lain.
3)      Beragama islam
Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu termasauk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau sudah diasuh oleh yang bukan islam dikhawatirkan anak yang diasuh akanjauh dari agamanya.
4)      Adil dalam menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil.
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh ( madhdhun) itu adalah :
1)      Ia masih berada dalamm usia anak-anak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
2)      Ia dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telahh dewasa, seperti orang-orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuhan siapapun.

E.     Masa Hadhanah
Tidak terdapat penjelasan ayat-ayat Al-qur’an dan hadits yang menerangkan dan menegaskan  tentang masa hadhanah,  hanya terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut.
Karena itu para ulama berijtihad sendiri-sendiri dalam menetapkan dengan berpedoman kepada isyarat-isyarat itu.
Berikut  pendapat para ulama mengenai masa hadhanah :
1.      Hanafiyah
Anak laki-laki berakhir pada saat anak itu tidak memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari. Sedangkan masa hadhanah wanita berakhir apabila wanita apabila telah baligh, atau telah datang masa haid pertamanya.





2.      Syafi’iah
Syafi;iah berpendapat bahwa masa hadhanah itu berakhir setelah anak mumayyiz , yakni berumur antara lima dan enam tahun[3], dengan dasar hadits rosulullah yang artinya : “ Rasulullah bersabda : anak ditetapkan antara bapak dan ibunnya sebagaimana anak (anak yang belum mumayyiz), perempuan ditetapkan antara bapak dan ibunya”.

F.      Upah Hadhanah
Menenai upah hadhanah ibu tidak berhak menerima upah selama masih dalam masa ikata perkawinan dengan bapaknya  si anakn karena dalam masa tersebut ia masih mempunyai nafkah dari suaminya sebagai istri atau dalam masa iddah.
Sebagaimana firman Allah  dalam surat Al-baqarah ayat 233 yang artinya :
“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahu penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang makruf”...
Adapun sesudah habis masa iddah maka ia berhak atas upah itu seperti haknya kepada upahnya menyusui sebagaimana firman Allah dalm surat At-talaq ayat 6 yang artinya :
“......maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sehingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan muysawarahlah diantara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untukmu”.
Perempuan selain ibunya yang menyusui anak boleh menerima upah hadhanah sejak ia menangani hadhanahnya, seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja menyusui anak kecil dengan bayaran. Selain dari itu seorang ayah juga wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah, iya juga wajib membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapannya jika sekiranya ibu tidak memiliki rumah sendiri sebagai tempat mengasuh anak kecilnya.

G.    Ketentuan Hukum
Mengenai ketentuan hukum hadhanah, dalam UU sendiri tidak secara khusu membicarakan tentang pemelihaaraan anak sebagai akibat putusnya perkawinan, apalagi dengan menggunakan nama hadhanah. Namun UU secara umu mengatur hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya secara umum dalam pasal 5 sebagai berikut :





Pasal 45
1)      Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya.
2)      Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya terputus.
Pasal 46
1)      Anak wajib menghormati orang tua dan mengikuti kehendak mereka dengan yang baik.
2)      Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihhara mmenurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47
1)      Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak di cabut dari kekuasaanya.
2)      Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 49
1)      Salah satu atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaanya seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :
a)      Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b)      Ia berkelakuan buruk sekali;
2)      Meskipun orang tua di cabut kekuasaanya, mereka masih berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Hadhanah sebagai salah satu akibat putusnya perkawinan diatur secara penjang lebar oleh KHI dan materi hampir keseluruhannya mengambil dari fiqih menurut jumhur ulama, Khususnya Syafi’iyah dengan rumusan sebagai berikut :



AKIBAT PERCERAIAN
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a.       Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
1)      wanita-wanita garis lurus keatas dari ibunya;
2)      ayah;
3)      wanita-wanita garis lurus keatas dari ayahnya;
4)      saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5)      wanita-wanita kerabat menurut garis kesamping dari ibu;
6)      wanita-wanita kerabat menurut garis kesamping dari ayah;
b.      Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau dari ibunya
c.       Apabila pemegang hadhanah terbukti tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkan dan hadhanah telah dicukupi, maka atas perminntaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepda kerabat lain yang mempunya hak hadhanah pula
d.      Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
e.       Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak Pengadilan Agama memberikan putusannya bedasarakan huruf (a), (b),(c), dan (d)
f.       Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetepkan jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang turut padanya

Mut’ah sebagai akibat putusnya perkawinan dibicarakan dalam KHI dalam tiga pasal berikut :
Pasal 158
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat :
a.       Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da dukhul
b.      Perceraian itu atas kehendak suami
Pasal 159
Mut’ah sunnah diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158
Pasal 160
Besarnya mut’ah di sesuaikan dengan keputusan dan kemapuan suami


BAB III
Penutup
A.     Kesimpulan




[1] Lihat Zakiah Darajat, op.cit., h,157
[2] Lihat Amir Syarifuddin, hal,328
[3] Lihat Abdurahman Ghozali, hal, 163-164

Komentar

Postingan Populer