Analisis Putusan nomor 156/Pdt.P/2010/PN.Ska. tentang Penetapan Perkawinan Beda Agama

Analisis Putusan nomor 156/Pdt.P/2010/PN.Ska. tentang Penetapan Perkawinan Beda Agama

Abstrak
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalamdan kuat sebagai sebuah penghubung antara seorang pria dan seorang wanita dalam membentuk suatu rumah tangga atau keluarga. Oleh sebab itu, maka dalam membentuk suatu keluarga tersebut membutuhkan suatu komitmen yang kuat diantara kedua belah pihak tersebut. Sehingga dalam hal ini dalam Undang-undang perkawinan nomor.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan ” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.( Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan)
Landasan hukum agama dalam menjalankan sebuah perkawinan dapat menjadi sangat penting dalam undang-undang tersebut, karena penentuan diperbolehkan atau tidaknyasuatu perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini juga berarti bahwaperkawinan yang dilarang menurut agama maka seharusnya tidak boleh juga menurut negara. Tetapi pada kenyataanya dalam penerapan hukum selalu ada saja ketimpangan antara harapan dan kenyataan (das sein dan das solen). Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak dapat menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang, dan dalam hal ini dapat menjadi tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat dan tata cara dalam perkawinan masing-masing. Memang terkadang rasa cinta yang begitu besar dapat membutakan segalanya sehingga dapat melupakan aturan agamanya dalam menjalankan kehidupan ini.
Kata kunci : Perkawinan beda agama, penetapan majelis hakim
PENDAHULUAN
Pengertian perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 mengandung makna suatu ikatan lahir batin, di mana para pihak yang bersangkutan yaitu antara seorang pria dan wanita telah memiliki komitmen atau kesepakatan untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tujuan membina keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau sesuai dengan tuntunan agamanya.
Sebenarnya dalam undang-undang kontemporer saat ini sebenarnya tdak ada larangan dalam perkawinan beda agama ini, karena itu tidak di temukan narasinya yang melarang melangsungkan pernikahan beda agama ( seperti dikutip dari wawancara Jurnal Perempuan dengan Prof. Sulistyowati Irianto, Guru besar fakults hukum Universitas indonesia tahun 2015 )karena pemerintah waktu itu seolah menutup mata denganhal ini. Dalam penjelesannya juga menerngkan bahwa yang diatur pemerintah dalam KUHPer (BW) yang penggunaanya masih dipakai sampai sekarang hanya mengatur tentang perkawinan antar golongan yang diatur dengan hukumna masing-masing dan badan peradilannya masing-masing.
Semenjak dikeluarkannya Kompilasi Hukum Islam yang disahkan oleh Presiden yang di dalam nya memuat pelarangan perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan non muslim dan begitupun sebaliknya, maka para hakimdi pengadilan agama dapat sebuah dasar atau payung hukum dalam menjalankan tugasnya. Karena dalam pembuatan undang-undang membutuhkn waktu yang sangat lama dan dapat memakan waktu, maka di gunakanlah kompilasi ini sebgai salah satu aturan yang melarang perkawinan beda agama meskipun kedudukannya di bawah Undang-undang tapi karena ini merupakan intruksi langsung dari Presiden maka dapat dilaksanakan.
Rumusan masalah
1.      Apa yang menjadi dasar hakim menjatuhkan putusan penetapan perkawinan beda agama ini, padahal sudahjelas peraturannanya didalam Undang-undang nomor. 1 tahun 1974 pada pasal 2 dan pasal 8 huruf (f)?
2.      Bagaimana pengaruh pernikahan beda agama terhadap keluarga?
3.      Permasalan apa yang timbul akibat dilangsungkannya perkawinan beda agama ?
Analisis dan pembahasan
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah ada suatu peraturan  hukum  antar golongan yang mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernama  Regeling op de Gemengde Huwelijken  (GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana dimuat  dalam Staatsblad 1898 No. 158. Regeling Of de Gemengde Huwelijken (GHR) adalah suatu peraturan perkawinan yangdibuat oleh pemerintah Hindia Belanda tentang perkawinan campuran yang termuat dalam Lembaran Negara Hindia.
Pada pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah “Perkawinan  antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan”. Ada 3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok yang berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam GHR;  kedua, kelompok yang berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR; dan  ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama  saja yangtermasuk dalam GHR, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR (FXS. Purwaharsanto Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis,Aktualita Media Cetak, (Yogyakarta, 1992, hlm. 10-13.)
Dalam pembahasan kali iniyang diangkat berdasarkan data putusan hakim di pengadilan agama dengan nomor putusan 156/Pdt.P/2010/PN.Skadijelas bahwa dalam penetapan hakim tersebut terdapat contra legem yakni penetapan hakim terhadap dua calon mempelai yang berlainan agama yakni saudara Listiani Astuti yang beragama Kristen dengan saudara Ahmad Juliantoyang beraga Islam. Dalam duduk perkaranya di sbutkan bahwa kedua calon mempelai ini akan tetap menikah tanpa harus meninggalkan kepercayaanya masing-masing atau berpindah kepercayaan dari salah satu pihak. Namun di karenakan dalam administrasi pencatatan perkawinannya agak sedikit terhambat, maka kedua calon mempelai mengajukan surat permohonan penetapan perkawinan yang mengacu pada pasal 21 ayat 3dan 4 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi “(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas. (4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.” Dan dari pasal 35 ayat huruf (a) Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Penjelasannya.
Dari dasar hukum tersebut kedua mempelai mengajukan permohonan ke pengadilan Negeri kota Surakarta. Setelah penetapan hari hari sidang di tetapkan dan proses persidangan sudah dialaksanakanbeserta dengan pembuktian dengan menghadirkan para saksi dari pihak keluarga dan kelengkapan surat-surat yang autentik. Para saksi yang dihadirkan dalam persidangan tersebut berjumlah 5 orang yang keseluruhannya hampir daripihakkeluargamsaingmasing yang menyetujui pernikahan keua calon tersebut. Jadi setelah mengetahui beberapahaltersebutdapat di simpulkan bahwa : apakah Pengadilan Negeri kota Surakarta akan mengabulkan permohonan penetapan pernikahan tersebut yang akan dilangsungkan dihadapan pejabat dan kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatn Sipil Kota Surakarta ?
Berdasarkan dari pemeriksaan selama persidangan, hakim ternya tidak menggunakan dasar hukum yang ada pada Kompilasi Hukum Islam ataupun mengambil dalil hukum  dari pasal 2 pasal huruf (f) Undang-undang tentang perkawinan nomor 1 tahun 1974, tapi hakim mengabil dasar hukum dari Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan ketentuan dari pasal 1865 KUHPer dengan mewjibkan pemohon untuk membuktikan dalil-dalinya tersebut. Maka setelah para pihak membuktikan, hakim dari pengadilan tersebut mengabulkan permohonan tersebut. Ini menurut saya bertentangan, karena peraturan yang ada dalam KUHPer memuat perkawinan campuran. Sebenarnya bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Sedangkan peraturan yang mengatur mengenai perkawinan sudah ada dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974. Namun karena disitu perkawinan beda agama itu kepada hukum agamanya masing masing yang notabene dalam peraturan keagaman jelas berbeda, maka menurut analisi saya hal tersebut cenderung memaksakan kehendak, meskipun putusan hakim itu sendiri tidk bisa disalahkan.
Terus apabila diperhatiakan lagi secara cermat, dalam Undang-undang nomor  1 tahun 1974 terjadi pertentangan apabila dimasukan dalam kasus ini. Pertentangan pasal 6 dan pasal 2 serta pasal 8 huruf  (f). Pasal tersebut seperti tumpang tindih satu sama lain.Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan.
Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, maka perkawinan beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama yang diakui di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f) bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin
Selain Islam, agama Katholik memandang bahwa perkawinan sebagai sakramen sehingga jika terjadi perkawinan beda agama dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Sedangkan agama Protestan lebih memberikan kelonggaran pada pasangan yang ingin melakukan perkawinan beda agama. Walaupun pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama, tetapi jika terjadi perkawinan beda agama maka gereja Protestan memberikan kebebasan kepada penganutnya untuk memilih apakah hanya menikah di Kantor Catatan Sipil atau diberkati di gereja atau mengikuti  agama dari calon suami/istrinya.
Sebenarnya hal  yang  signifikan di dalam memahami persoalan perkawinan beda agama bukanlah soal perbedaan agama itu sendiri, tetapi soal tanggung jawab negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak warganya. Adapun yang dipersoalkan adalah soal relasi vertikal dalam hubungan antara negara dan warga negara, bukan soal relasi horisontal yang menyangkut hubungan di antara warga negara yang beragam agama, kepercayaan dan beragam penafsirannya. (Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (ed.), Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan, dan Analisis Kebijakan,  KOMNAS HAM bekerja sama dengan ICRP, Jakarta, 2005, hlm. 7) Hal ini penting untuk diperhatikan karena persoalan perkawinan beda agama dalam konteks  Negara Indonesia adalah persoalan hukum, sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan beda agama adalah persoalan teologis dan tafsir-tafsir keagamaan.
Di Indonesia  perkawinan antar agama masih merupakan suatu  problem yang  masih perlu dicarikan jalan keluarnya dengan sebaik-baiknya. Mengenai kesahan perkawinan  campuran ini memang belum ada pengaturan khusus, sehingga di dalam prakteknya sering terjadi  dan untuk memudahkan pasangan tersebut kawin berdasarkan agama salah satu pihak, namun kemudian setelah perkawinan disahkan, mereka kembali kepada keyakinannya masing-masing. Di  samping itu terdapat juga pasangan yangmelangsungkan perkawinan di luar negeri, baru kemudian didaftarkan di Indonesia.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum. Munkin ini yang menjadi alasan hakim di Pengadilan Negeri Kota Surakarta tadi menjatuhkan putusan penetapan perkawinan beda agama antara saudari Listiyani Astuti dengan Saudara Ahmad Julianto tersebut.
Ada beberapa permasalaha yang timbul jika perkawinan beda agama dilaksanakan diantaranya :
  1. Keabsahan perkawinan. Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).
  1. Pencatatan perkawinan. Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].
  1. Status anak. Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1) UUP].
  1. Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Apabila ternyata perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka dalam kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia harus mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP]. Permasalahan yang timbul akan sama seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan administratif.;
Jarwo Yunu (Jarwo Yunu, Aspek Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, CV. Insani, Jakarta, 2005, hlm. 11.) mengatakan bahwa ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda agama yaitu:
1)      Salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama,  namun ini dapat berarti penyelndupan hukum, karena sesungguhnya yang terjadi adalah hanya menyiasati secara hukum ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Namun setelah perkawinan berlangsung, masing-masing pihak kembali memeluk agamnya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan.
2)      Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400.K/Pdt/1986, Kantor Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama.
Secara umum Perkawinan beda agama sangat berpotensi menimbulkan persoalan-persoalan hukum tersendiri, baik kepada pasangan suami isteri itu sendiri maupun kepada pihak luar/ketiga termasuk hak waris anak yang lahir dari perkawinan beda agama.
Keabsahan perkawinan yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antarasuami isteri. Hak isteri terhadap nafkah dan harta  bersama sepenuhnya tergantung kepada ada tidaknya perkawinan yang sah sebagai alas hukumnya, begitu pula dari perkawinan yang sah akan melahirkan anak-anak yang sah. Hal ini karena anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa; ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya”, sehingga segala hak anak terhadap bapaknya akan hilang dan tidak diakui oleh hukum.
Hak pemeliharaan terhadap anak yang dimiliki orang tuanya, hanya akan dapat diperoleh apabila orang tua memiliki status perkawinan yang sah. Sebaliknya, perkawinan beda agama yang telah memiliki bukti otentik berupa Buku Nikah dapat diajukan pembatalan dengan alasan bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena  tidak sesuai dengan ketentuan hukum agama sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undang yang berlaku, yaitu Kompilasai Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pernikahan beda agama dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang, baik secara psikologis maupun religius, baik itu terhadap pasangan maupun anak. Pasangan adalah subyek dari pernikahan beda agama. Namun demikian, anak akan terkena dampaknya. Thomas (dalam Blood, 1969) melaporkan bahwa kebanyakan anak dari pernikahan beda agama hanya sedikit atau tidak mendapatkan pendidikan agama dan identitas agama dari kedua orang tuanya. Djajasinga (2001) menemukan bahwa anak-anak ini menunjukkan pencapaian dimensi kepercayaan, intelektual, dan konsekuensial yang baik, namun pencapaian dimensi ritual dan eksperiensial kurang baik. Viemilawati (2002) menemukan bahwa mereka memiliki keyakinan terhadap Tuhan yang baik, memandang penting   berbuat baik terhadap sesama namun ritual tidak wajib dilakukan.
Larangan perkawinan antar pemeluk agama  yang  berbeda  itu agaknya  dilatarbelakangi  oleh  harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Bagaimana mendidik anak-anak mereka.karena pada dasarnya seorang anak akan kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya.


Kesimpulan
Perkawinan beda agama memang sesuatu yang sulit dilaksanakan di Indonesia karena berbenturan dengan hukum yang berlaku. Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum. Munkin ini yang menjadi alasan hakim di Pengadilan Negeri Kota Surakarta tadi menjatuhkan putusan penetapan perkawinan beda agama antara saudari Listiyani Astuti dengan Saudara Ahmad Julianto tersebut.
Perkawinn beda agama juga akan berpengaruh dalam kehidupan rumah tangga nantinya, seperti kebingungan anak dalam memilih kepercayaan, hak waris,hakpengasuhan anak, dll. Terus juga akan ada beberapa permasalahan yang timbul jika perkawinan beda agama dilaksanakan diantaranya :
1.      Keabsahan perkawinan
2.      Pencatatan perkawinan
3.      Status anak
4.      Karena peraturan yang dilarang, maka perkawinan dilakukan diluar negeri






Daftar pustaka
1.      Jurnal Perempuan dengan Prof. Sulistyowati Irianto, Guru besar fakults hukum Universitas indonesia tahun 2015
2.      Yunu,Jarwo,Aspek Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, CV. Insani, Jakarta, 2005
3.      Baso.Ahmad danNurcholis. Ahmad, Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan, dan Analisis Kebijakan,  KOMNAS HAM bekerja sama dengan ICRP, Jakarta, 2005
4.      Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
5.      Hadikusuma, Hilman.,  Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003.
6.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata




Komentar

Postingan Populer